HUKUM ISLAM DI INDONESIA
oleh
Rudi Hartanto
I.
PENDAHULUAN
Indonesia
merupakan salah satu negara yang secara konstitusional tidak menyatakan diri
sebagai negara islam, tetapi mayoritas penduduknya menganut agama islam. Oleh
karena itu seseorang yang beragama islam harus menaati hukum islam itu sendiri,
yang mana hukum islam itu merupakan bagian dari rangkaian struktur agama islam
itu sendiri.
II.
PERMASALAHAN
a. Datangnya
Islam di Indonesia.
b. Perkembangan
Hukum Islam di Indonesia Pra Kemerdekaan.
c. Perkembangan
Hukum Islam di Indonesia Pada Masa Penjajahan.
d. Perkembangan
Hukum Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan.
e. Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia.
III.
PEMBAHASAN
A. Datangnya Islam di Indonesia.
Kennet
W. Morgan mengatakan bahwa berita yang dapat dipercaya tentang permulaan Islam
di Indonesia adalah berita dari Marco Polo. Yakni, dalam perjalanannya kembali
ke Venezia setelah bekerja pada Kubilai Khan di Tiongkok pada tahun 1292 M,
Marco Polo singgah di Perlak, sebuah kota di Pantai Utara Sumatra. Menurut
Marco Polo, penduduk Perlak waktu itu telah di islamkan oleh pedagang yang
disebutnya kaum saracen dan wilayah di sekitar Perlak waktu itu didiami
oleh penduduk yang menyembah patung dan belum beradab. Kemudian Marco Polo
singgah di daerah yang bernama Samara (daerah yang tidak jauh dari Perlak)
selama lima bulan untuk mununggu angin yang baik untuk melanjutkan berlayar .
Di sana, Marco Polo beserta rombongannya harus menyelamatkan diri dengan
mendirikan benteng yang terbuat dari pancang-pancang, karena diserang oleh
orang-orang biadab di daerah itu. Menurut Marco Polo, kota Samara dan tempat
yang tidak jauh dari situ yakni yang disebutnya Basma adalah dua nama yang
kemudian dikenal dengan nama Samudra dan Pasai, yaitu dua buah kota yang
dipisahkan oleh Sungai Pasai yang terletak tidak jauh dari Perlak.[1]
B. Perkembangan Hukum Islam di Indonesia Pra
Kemerdekaan.
Hukum
Islan masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya agama islam ke wilayah itu.
Islam beserta hukumnya datang dengan cara damai, toleran, dan membaur dengan
tradisi lokal sehingga diterima secara baik oleh masyarakat Indonesia dan tidak
menimbulkan kejutan budaya (shock culture).
Hukum
Islam pada masa kerajaan (sebelum era penjajahan) merupakan fase penting dalam
sejarah hukum islam di Indonesia. Hal itu disebabkan bahwa setelah kerajaan
Hindu dan Budha runtuh kemudian tergantikan oleh kerajaan (kesultanan) Islam
yang secara realitas hukum Islam telah eksis secara formal sebagai hukum
positif di sebagian wilayah kepulauan Nusantara. Hal tersebut diindikasikan
dengan jelas melalui perilaku yang sudah menjadi tradisi kerajaan yang sarat
dengan nilai-nilai keagamaan (Islam). Misalnya, penggunaan “sultan” (Sulthan:
Arab) adalah simbol nyata Islam yang dipakai oleh beberapa raja, seperti Sultan
Iskandar Muda, Sultan Ageng Tirtayasa Banten, Sultan Hasanuddin Gowa-Tallo,
Sultan Agung Mataram dan pemberian gelar
kepada sultan sebagai adipati ing alogo sayidina panotogomo (panglima
perang dan pembina agama) serta yang menunjukan bahwa para raja adalah seorang
pemimpin yang memberlakukan hukum agama.[2]
Pada
pra pemerintahan Hindia Belanda dikenal tiga periode Peradilan agama[3]:
1.) Periode Tahkim, dimana masalah pribadi
mengakibatkan pembenturan antara hak dan kepentingan tingkah laku seseorang.
Misalnya, seorang yang tidak mempunyai wali bertahkim kepada seorang penghulu
sebagai wali yang berhak menikahkan dengan pria idamannya.
2.) Periode Ahlul halli wal aqdi, pada
priode ini seorang ulama dibaiat,
kemudian diangkat menjadi qadhi untuk menyelesaikan urusan, seperti di
Banten.
3.) Periode Tauliyah, periode ini bisa
dikatakan sebagai delegation of authority, penyerahan kekuasaan
(wewenang) untuk mengadili yang ada pada badan yudikatif yang tidak mutlak. Hal
ini dibuktikan dengan kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam, seperti
Semarang Bone Goa (Makassar) serta Papakeum Cirebon.
Hukum
Islam pada akhirnya tidak saja menggantikan kedudukan hukum Hindu, tetapi
disamping itu berusaha memasukkan pengaruhnya pada masyarakat dalam segi
kehidupan. Adapun pengaruh yang menonjol adalah dalam bidang kekeluargaan dan
perkawinan. Oleh karena itu dapat dikatakan, sebelum Belanda mengukuhkan
kekuasaan di Indonesia, hukum islam telah ada dalam masyarakat yang berdiri
sendiri, tumbuh dan berkembang disamping kebiasaan atau adat penduduk yang
mendiami kepulauan Nusantara.
C. Perkembangan Hukum Islam di Indonesia Pada Masa
Penjajahan.
Dengan
datangnya penjajahan Belanda pada abad ke- 16, hambatan terhadap perjalanan
hukum Islam di Indonesia mulai muncul. Adanya hambatan tersebut sebagaimana
yang ditemukan Afdol dan Ichtijanto, sebagai berikut[4]:
1. Sama
sekali tidak memasukkan masalah hudud
dan qishash dalam bidang hukum pidana. Hukum pidana diberlakukan dan
diambil langsung dari Wetboek van Strarect dari Nederland yang
diberlakukan sejak januari 1919 (Staatsblad 1915 No. 732).
2. Dalam
bidang tata negara, yakni, ajaran islam yang mengenai ketatanegaraan
dihancurkan oleh pemerintahan Belanda. Selain itu, pengkajian ayat-ayat suci
Al-Qur’an yang memberikan pelajaran agama dan penguraian hadist dalam bidang
politik tentang ketatanegaraan dilarang untuk dikaji.
3. Mempersempit
berlakunya hukum muamalah yang menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan.
Bahkan dikhususkan oleh pemerintah Belanda tentang kewarisann Islam berusaha
untuk dihapus. Upaya untuk penghambatan tersebut dilaksanakan secara perlahan
dan sistematis. Mengenai hal ini pemerintah Belanda mengambil langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Menanggalkan wewenang Peradilan Agama di
Jawa dan Madura, serta Kalimantan Selatan untuk mengadili waris.
b. Memberi
wewenang untuk memeriksa perkara waris kepada Landraad.
c. Melarang penyelesaian dengan hukum islam
jika di terdapat pembagian waris yang tidak tercantum dalam Hukum Adat
Pendapat
umum mengatakan bahwa hukum islam adalah hukum asli orang pribumi. Meskipun
dalam prakteknya, hukum islam dijadikan hukum sekunder yang diwujudkan dalam
pengadilan agama. Selanjutnya, Pengadilan Agama dengan Staatsblaad 1882 nomor
152 yang merupakan pengakuan resmi dan
pengukuhan yang telah ada, sehingga hukum adat tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Menurut Van den Berg, orang islam Indonesia telah melakukan resepsi
hukum islam dengan keseluruhannya sebagai satu kesatuan (receptio in
complexu).
D. Perkembangan Hukum Islam di Indonesia Pasca
Kemerdekaan.
Dengan
Proklamasi Kemrdekaan Republik Indonesia dan keberlakuan UUD 1945 pada tanggal
17 dan 18 Agustus 1945, kedudukan Hukum Islam secara umum tidak diubah dan
masih berfungsi sebagai sistem hukum khusus orang islam di bidang tertentu.
Kedudukan tersebut diwujudkan melalui ketentuan bahwa Republik Indonesia adalah
negara yang berdasarkan sila Ketuhanan
Yang Maha Esa.
UUD
1945 menggariskan bahwa Indonesia tidak menjadi negara sekular seperti Negara
Barat dan Negara Komunis dan juga tidak
menjadi Negara Islam seperti beberapa Negara Timur Tengah. Sesuai sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, Indonesia menganut negara agama terbuka atau negara
dengan kebebasan beragama. Dalam model seperti ini, negara hukum Islam tidak
boleh menjadi sistem hukum yang absolut bagi segala lembaga pemerintahan atau
bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Kebijakan
Pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 1945 bertujuan untuk mencapai
kepastian hukum Islam. Namun demikian, Pemerintah Republik Indonesia tidak
memberikan wewenang yang luas kepada Pengadilan Agama. Sebaliknya, Pemerintah
Republik Indonesia ingin mencabut dan membatasi wewenangnya.
Kepastian
Hukum Islam dimulai dengan UU No. 22/1946. UU tersebut mengatur pencatatan
nikah, talak dan rujuk untuk orang Islam dan mencabut peraturan perundangan
Belanda. Selain itu, UU No. 22/1946 mengandung jadwal Kompilasi Hukum Islam.
Pada
perkembangan berikutnya, Hukum Islam dalam bentuk lembaga mendapat legislasi
yang kuat dengan dikeluarkannya beberapa peraturan perundang-undangan. Hal ini
bisa dilihat dalam beberapa peraturan, dan 1980 lahir keputusan Menteri Agama
Nomor 6 Tahun 1980 tanggal 28 Januari 1980 tentang penyeragaman nama lembaga
peradilan menjadi sebuah Pengadilan Agama.
Sedangkan
pada masa Orde Baru Hukum Islam mengalami pasang surut. Dalam perspektif
Soeharto, Soekarno telah banyak mengecewakan umat Islam dengan konsep NASAKOM
nya. Pada awalnya kehadiran Orde Baru menyimpan harapan yang besar bagi umat
islam, sebab pada paruh terakhir masa Soekarno, keberadaan sosio-politik umat
islam termarginalkan oleh kekuatan lainnya. Yakni disamping persoalan dimensi teologis
yang berseberangan dengan ideologi
komunis. Namun ironis sekali, ternyata harapan itu musnah, terutama di mata
para petinggi Masyumi yang menaruh harapan besar terhadap pemimpin Orde Baru
ini. Sebab terbukti ketika Soeharto menjadi penguasa Orde Baru, tidak
sedikitpun memberi peluang bagi Partai Masyumi untuk direhabilitasi namanya,
bahkan lebih parah lagi, Orde Baru menganggap bahwa Umat Islam merupakan
kelompok yang membahayakan dan akan mengganggu stabilitas Nasional, sehingga
dia mengerahkan kekuatan ABRI untuk menghambat kekuatan Umat Islam.
Ketika
runtuhnya rezim Orde Baru, muncullah tuntutan atau aspirasi sebagian kelompok
Islam untuk memformalkan Piagam Jakarta atau Syari’at Islam. Namun disisi lain,
hal ini memunculkan kekhawatiran dari kelompok islam yang lain, karena
banyaknya ketentuan-ketentuan dalam syariah Islam yang dianggap tidak sejalan
dengan demokrasi.[5]
E. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Kompilasi
adalah suatu kumpulan atau himpunan. Dalam bahasa Inggris terdapat istilah Compilation
of law atau himpunan undang-undang. Selain itu, compilation dapat
diartikan sebagai book (buku) atau corpus. Kata “kompilasi”
berasal dari bahasa latin yaitu compilare, dalam bahasa Inggris berarti to
heap together atau menghimpun menjadi satu kesatuan. Dari rumusan tersebut,
dapat diartikan bahwa kompilasi merupakan himpunan hukum dalam satu buku,
dengan demikian kompilasi hukum islam adalah himpunan kaidah islam yang disusun
secara sistematis selengkap mungkin dengan rumusan kalimat atau pasal-pasal yang
lazim digunakan dalam peraturan perundang-undangan khususnya di Indonesia.
Ide
Kompilasi Hukum Islam lahir sejak tahun 1976 ketika Mahkamah Agung membina
teknis yustisial Peradilan Agama. Selama pembinaan teknis yustisial peradilan
agama oleh Mahkamah Agung, terasa adanya
beberapa kelemahan, antara lain soal hukum islam yang diterapkan dilingkungan
Peradilan Agama, yang cenderung simpang siur dikarenakan perbedaan pendapat
ulama yang hampir dalam setiap persoalan. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan
adanya suatu buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan yang berlaku bagi
lingkungan Peradilan Agama untuk dijadikan pedoman oleh para hakim dalam
melaksanakan tugasnya, sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum.
Melalui
perjalanan panjang dengan proses yang lika-liku, pada tahun 1991 terbentuklah
Kompilasi Hukum Islam yang dilegalisasi dalam bentuk formal di Indonesia dengan
Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 dan Keputusan Menteri
Agama Nomor 154 tahun 1991. Oleh karena itu, sejak tanggal 22 Juli 1991,
Kompilasi Hukum Islam resmi berlaku sebagai hukum untuk digunakan dan
diterapkan dalam pemerintahan maupun masyarakat yang memerlukannya untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang mengenai perkawinan, kewarisan dan wakaf.[6]
Adapun
metodologi yang digunakan dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam menggunakan
beberapa jalur:
1. Jalur pertama adalah pengkajian kitab-kitab
kuning khusunya fiqih islam, sebagaimana anjuran Departemen Agama tentang buku
pedoman atau pegangan para hakim agama kemudian dikumpulkan dan dibuat berbagai
masalah hukum, kemudian kepada Perguruan Tinggi islam atau IAIN di Indonesia
yang dimintakan untuk mengeluarkan pendapat masing-masing tentang masalah
tersebut.
2. Jalur kedua yaitu para ulama diwawancarai dan
ditanya berbagai masalah yang nantinya akan dituangkan ke dalam kompilasi.
3. Jalur ketiga adalah jalur yurisprudensi.
Yurisprudensi peradilan agama sejak zaman Hindia Belanda sampai saat penyusunan
kompilasi tersebut yang mana terhimpun dalam berbagai dokumen, dipelajari,
dikaji kemudian ditarik garis-garis hukumnya yang berkaitan dengan masalah ini.
4. Jalur
keempat adalah jalur studi komparatif atau perbandingan dengan negara-negara
yang mayoritas penduduknya beragama islam, dengan perbandingan mengenai hukum
dan penerapan hukum Islam di negara tersebut serta sistem peradilan mereka.[7]
Keberadaan
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang memiliki dasar hukum Inpres No. 1 tahun
1991 jo, Keputusan Menteri Agama No. 154 tahun 1991 jo, Surat Edaran Direktur
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam atas nama Direktur Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam No. 3694/Ev/Hk.003/AZ/91, memuat tiga buku hukum, yaitu
Buku I tentang perkawinan, Buku II tentang kewarisan, Buku III
tentang perwakafan.
IV.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat kita ketahui
bahwa islam masuk ke Indonesia pada abad
ke ±13 M. Melalui pesisir pantai utara Indonesia, Islam masuk dengan
cara damai, toleran, dan membaur dengan tradisi lokal sehingga diterima secara
baik oleh masyarakat Indonesia dan tidak menimbulkan kejutan budaya (shock
culture).
Pada masa pra kemerdekaan dikenal
istilah adipati ing alogo panotogomo, pemimpin tidak hanya memegang
tahta tetapi juga sebagai pemimpin agama, dan pada masa ini dikenal dengan
konsep tahkim dan sebagainya, sehingga
pada masa ini hukum islam berdiri dan berkembang, sedangkan setelah datangnya
penjajahan sistem hukum islam hampir dihapus, seperti halnya qishosh dan
yang lainnya. Adapun pada masa pasca kemerdekaan hukum islam sangat diharapkan
bisa bangkit kembali, tapi semua itu hanya harapan belaka, lebih-lebih pada
masa Orde Baru Umat Islam dianggap membahayakan dan mengganggu kestabilan
Negara.
V.
PENUTUP
Mengakhiri makalah ini, saya
menghaturkan segala puji dan keagungan kepada Alloh Yang Maha Tinggi lagi Maha
Kuasa. Dialah yang telah memberi anugerah pertolongan kepada kami. Tanpa
pertolongan itu, tentu makalah ini tidak akan terwujud. Dengan rendah hati saya
berdo’a kepada Alloh, mudah-mudahan Dia menjadikan jerih payah ini sebuah amal
jariyah yang ikhlas, untuk dan karena-Nya semata. Dia Maha Tinggi lagi Maha
Mulia. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi semua, dan dicatat sebagai
pahala. Dialah sebaik-baik Penguasa dan sebaik-baik Pemberi pertolongan.
Mudah-mudahan Alloh melimpahkan rahmat-salam kepada panutan alam beliaulah
Muchammad S’AW, serta kepada segenap keluarga, sahabat dan para pengikut beliau
hingga hari kiamat.
DAFTAR PUSTAKA
Sirajuddin. 2008. Legislasi Hukum Islam di Indonesia.:
Pustaka Pelajar: Jakarta.
Dedi Supriyadi. 2007. Sejarah Hukum Islam
(Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia),: Pustaka Setia.: Bandung.
[1]
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai
Indonesia), Basndung: Pustaka Setia. 2007. Hlm. 293.
[2]
Ibid. Hlm. 301-302.
[3]
Ibid. Hlm. 295.
[4]
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai
Indonesia), Basndung: Pustaka Setia. 2007. Hlm. 314.
[5]
Sirajuddin. Legislasi
Hukum Islam di Indonesia.: Pustaka Pelajar: Jakarta.
[6]
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai
Indonesia), Basndung: Pustaka Setia. 2007. Hlm. 385-387..
[7]
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai
Indonesia), Basndung: Pustaka Setia. 2007. Hlm 390.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar