Sabtu, 06 Juli 2013

HUKUM ISLAM DI INDONESIA



HUKUM ISLAM DI INDONESIA
oleh
Rudi Hartanto
 
I.              PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara yang secara konstitusional tidak menyatakan diri sebagai negara islam, tetapi mayoritas penduduknya menganut agama islam. Oleh karena itu seseorang yang beragama islam harus menaati hukum islam itu sendiri, yang mana hukum islam itu merupakan bagian dari rangkaian struktur agama islam itu sendiri.

II.           PERMASALAHAN

a.       Datangnya Islam di Indonesia.
b.      Perkembangan Hukum Islam di Indonesia Pra Kemerdekaan.
c.       Perkembangan Hukum Islam di Indonesia Pada Masa Penjajahan.
d.      Perkembangan Hukum Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan.
e.       Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

III.        PEMBAHASAN

A.    Datangnya Islam di Indonesia.
Kennet W. Morgan mengatakan bahwa berita yang dapat dipercaya tentang permulaan Islam di Indonesia adalah berita dari Marco Polo. Yakni, dalam perjalanannya kembali ke Venezia setelah bekerja pada Kubilai Khan di Tiongkok pada tahun 1292 M, Marco Polo singgah di Perlak, sebuah kota di Pantai Utara Sumatra. Menurut Marco Polo, penduduk Perlak waktu itu telah di islamkan oleh pedagang yang disebutnya kaum saracen dan wilayah di sekitar Perlak waktu itu didiami oleh penduduk yang menyembah patung dan belum beradab. Kemudian Marco Polo singgah di daerah yang bernama Samara (daerah yang tidak jauh dari Perlak) selama lima bulan untuk mununggu angin yang baik untuk melanjutkan berlayar . Di sana, Marco Polo beserta rombongannya harus menyelamatkan diri dengan mendirikan benteng yang terbuat dari pancang-pancang, karena diserang oleh orang-orang biadab di daerah itu. Menurut Marco Polo, kota Samara dan tempat yang tidak jauh dari situ yakni yang disebutnya Basma adalah dua nama yang kemudian dikenal dengan nama Samudra dan Pasai, yaitu dua buah kota yang dipisahkan oleh Sungai Pasai yang terletak tidak jauh dari Perlak.[1]

B.     Perkembangan Hukum Islam di Indonesia Pra Kemerdekaan.
Hukum Islan masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya agama islam ke wilayah itu. Islam beserta hukumnya datang dengan cara damai, toleran, dan membaur dengan tradisi lokal sehingga diterima secara baik oleh masyarakat Indonesia dan tidak menimbulkan kejutan budaya (shock culture).
Hukum Islam pada masa kerajaan (sebelum era penjajahan) merupakan fase penting dalam sejarah hukum islam di Indonesia. Hal itu disebabkan bahwa setelah kerajaan Hindu dan Budha runtuh kemudian tergantikan oleh kerajaan (kesultanan) Islam yang secara realitas hukum Islam telah eksis secara formal sebagai hukum positif di sebagian wilayah kepulauan Nusantara. Hal tersebut diindikasikan dengan jelas melalui perilaku yang sudah menjadi tradisi kerajaan yang sarat dengan nilai-nilai keagamaan (Islam). Misalnya, penggunaan “sultan” (Sulthan: Arab) adalah simbol nyata Islam yang dipakai oleh beberapa raja, seperti Sultan Iskandar Muda, Sultan Ageng Tirtayasa Banten, Sultan Hasanuddin Gowa-Tallo, Sultan Agung Mataram dan  pemberian gelar kepada sultan sebagai adipati ing alogo sayidina panotogomo (panglima perang dan pembina agama) serta yang menunjukan bahwa para raja adalah seorang pemimpin yang memberlakukan hukum agama.[2]
Pada pra pemerintahan Hindia Belanda dikenal tiga periode Peradilan agama[3]:
1.)     Periode Tahkim, dimana masalah pribadi mengakibatkan pembenturan antara hak dan kepentingan tingkah laku seseorang. Misalnya, seorang yang tidak mempunyai wali bertahkim kepada seorang penghulu sebagai wali yang berhak menikahkan dengan pria idamannya.
2.)     Periode Ahlul halli wal aqdi, pada priode ini  seorang ulama dibaiat, kemudian diangkat menjadi qadhi untuk menyelesaikan urusan, seperti di Banten.
3.)     Periode Tauliyah, periode ini bisa dikatakan sebagai delegation of authority, penyerahan kekuasaan (wewenang) untuk mengadili yang ada pada badan yudikatif yang tidak mutlak. Hal ini dibuktikan dengan kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam, seperti Semarang Bone Goa (Makassar) serta Papakeum Cirebon.
Hukum Islam pada akhirnya tidak saja menggantikan kedudukan hukum Hindu, tetapi disamping itu berusaha memasukkan pengaruhnya pada masyarakat dalam segi kehidupan. Adapun pengaruh yang menonjol adalah dalam bidang kekeluargaan dan perkawinan. Oleh karena itu dapat dikatakan, sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaan di Indonesia, hukum islam telah ada dalam masyarakat yang berdiri sendiri, tumbuh dan berkembang disamping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami kepulauan Nusantara.

C.    Perkembangan Hukum Islam di Indonesia Pada Masa Penjajahan.
Dengan datangnya penjajahan Belanda pada abad ke- 16, hambatan terhadap perjalanan hukum Islam di Indonesia mulai muncul. Adanya hambatan tersebut sebagaimana yang ditemukan Afdol dan Ichtijanto, sebagai berikut[4]:
1.      Sama sekali tidak memasukkan masalah  hudud dan qishash dalam bidang hukum pidana. Hukum pidana diberlakukan dan diambil langsung dari Wetboek van Strarect dari Nederland yang diberlakukan sejak januari 1919 (Staatsblad 1915 No. 732).
2.      Dalam bidang tata negara, yakni, ajaran islam yang mengenai ketatanegaraan dihancurkan oleh pemerintahan Belanda. Selain itu, pengkajian ayat-ayat suci Al-Qur’an yang memberikan pelajaran agama dan penguraian hadist dalam bidang politik tentang ketatanegaraan dilarang untuk dikaji.
3.      Mempersempit berlakunya hukum muamalah yang menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Bahkan dikhususkan oleh pemerintah Belanda tentang kewarisann Islam berusaha untuk dihapus. Upaya untuk penghambatan tersebut dilaksanakan secara perlahan dan sistematis. Mengenai hal ini pemerintah Belanda mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a.          Menanggalkan wewenang Peradilan Agama di Jawa dan Madura, serta Kalimantan Selatan untuk mengadili waris.
b.      Memberi wewenang untuk memeriksa perkara waris kepada Landraad.
c.          Melarang penyelesaian dengan hukum islam jika di terdapat pembagian waris yang tidak tercantum dalam Hukum Adat
Pendapat umum mengatakan bahwa hukum islam adalah hukum asli orang pribumi. Meskipun dalam prakteknya, hukum islam dijadikan hukum sekunder yang diwujudkan dalam pengadilan agama. Selanjutnya, Pengadilan Agama dengan Staatsblaad 1882 nomor 152 yang  merupakan pengakuan resmi dan pengukuhan yang telah ada, sehingga hukum adat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Menurut Van den Berg, orang islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum islam dengan keseluruhannya sebagai satu kesatuan (receptio in complexu).

D.    Perkembangan Hukum Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan.
Dengan Proklamasi Kemrdekaan Republik Indonesia dan keberlakuan UUD 1945 pada tanggal 17 dan 18 Agustus 1945, kedudukan Hukum Islam secara umum tidak diubah dan masih berfungsi sebagai sistem hukum khusus orang islam di bidang tertentu. Kedudukan tersebut diwujudkan melalui ketentuan bahwa Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan  sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
UUD 1945 menggariskan bahwa Indonesia tidak menjadi negara sekular seperti Negara Barat dan Negara Komunis  dan juga tidak menjadi Negara Islam seperti beberapa Negara Timur Tengah. Sesuai sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Indonesia menganut negara agama terbuka atau negara dengan kebebasan beragama. Dalam model seperti ini, negara hukum Islam tidak boleh menjadi sistem hukum yang absolut bagi segala lembaga pemerintahan atau bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 1945 bertujuan untuk mencapai kepastian hukum Islam. Namun demikian, Pemerintah Republik Indonesia tidak memberikan wewenang yang luas kepada Pengadilan Agama. Sebaliknya, Pemerintah Republik Indonesia ingin mencabut dan membatasi wewenangnya.
Kepastian Hukum Islam dimulai dengan UU No. 22/1946. UU tersebut mengatur pencatatan nikah, talak dan rujuk untuk orang Islam dan mencabut peraturan perundangan Belanda. Selain itu, UU No. 22/1946 mengandung jadwal Kompilasi Hukum Islam.
Pada perkembangan berikutnya, Hukum Islam dalam bentuk lembaga mendapat legislasi yang kuat dengan dikeluarkannya beberapa peraturan perundang-undangan. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa peraturan, dan 1980 lahir keputusan Menteri Agama Nomor 6 Tahun 1980 tanggal 28 Januari 1980 tentang penyeragaman nama lembaga peradilan menjadi sebuah Pengadilan Agama.
Sedangkan pada masa Orde Baru Hukum Islam mengalami pasang surut. Dalam perspektif Soeharto, Soekarno telah banyak mengecewakan umat Islam dengan konsep NASAKOM nya. Pada awalnya kehadiran Orde Baru menyimpan harapan yang besar bagi umat islam, sebab pada paruh terakhir masa Soekarno, keberadaan sosio-politik umat islam termarginalkan oleh kekuatan lainnya. Yakni disamping persoalan dimensi teologis yang berseberangan  dengan ideologi komunis. Namun ironis sekali, ternyata harapan itu musnah, terutama di mata para petinggi Masyumi yang menaruh harapan besar terhadap pemimpin Orde Baru ini. Sebab terbukti ketika Soeharto menjadi penguasa Orde Baru, tidak sedikitpun memberi peluang bagi Partai Masyumi untuk direhabilitasi namanya, bahkan lebih parah lagi, Orde Baru menganggap bahwa Umat Islam merupakan kelompok yang membahayakan dan akan mengganggu stabilitas Nasional, sehingga dia mengerahkan kekuatan ABRI untuk menghambat kekuatan Umat Islam.
Ketika runtuhnya rezim Orde Baru, muncullah tuntutan atau aspirasi sebagian kelompok Islam untuk memformalkan Piagam Jakarta atau Syari’at Islam. Namun disisi lain, hal ini memunculkan kekhawatiran dari kelompok islam yang lain, karena banyaknya ketentuan-ketentuan dalam syariah Islam yang dianggap tidak sejalan dengan demokrasi.[5]

E.     Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Kompilasi adalah suatu kumpulan atau himpunan. Dalam bahasa Inggris terdapat istilah Compilation of law atau himpunan undang-undang. Selain itu, compilation dapat diartikan sebagai book (buku) atau corpus. Kata “kompilasi” berasal dari bahasa latin yaitu compilare, dalam bahasa Inggris berarti to heap together atau menghimpun menjadi satu kesatuan. Dari rumusan tersebut, dapat diartikan bahwa kompilasi merupakan himpunan hukum dalam satu buku, dengan demikian kompilasi hukum islam adalah himpunan kaidah islam yang disusun secara sistematis selengkap mungkin dengan rumusan kalimat atau pasal-pasal yang lazim digunakan dalam peraturan perundang-undangan khususnya di Indonesia.
Ide Kompilasi Hukum Islam lahir sejak tahun 1976 ketika Mahkamah Agung membina teknis yustisial Peradilan Agama. Selama pembinaan teknis yustisial peradilan agama oleh Mahkamah Agung, terasa  adanya beberapa kelemahan, antara lain soal hukum islam yang diterapkan dilingkungan Peradilan Agama, yang cenderung simpang siur dikarenakan perbedaan pendapat ulama yang hampir dalam setiap persoalan. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan adanya suatu buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan yang berlaku bagi lingkungan Peradilan Agama untuk dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya, sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum.
Melalui perjalanan panjang dengan proses yang lika-liku, pada tahun 1991 terbentuklah Kompilasi Hukum Islam yang dilegalisasi dalam bentuk formal di Indonesia dengan Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991. Oleh karena itu, sejak tanggal 22 Juli 1991, Kompilasi Hukum Islam resmi berlaku sebagai hukum untuk digunakan dan diterapkan dalam pemerintahan maupun masyarakat yang memerlukannya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang mengenai perkawinan, kewarisan dan wakaf.[6]
Adapun metodologi yang digunakan dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam menggunakan beberapa jalur:
1.       Jalur pertama adalah pengkajian kitab-kitab kuning khusunya fiqih islam, sebagaimana anjuran Departemen Agama tentang buku pedoman atau pegangan para hakim agama kemudian dikumpulkan dan dibuat berbagai masalah hukum, kemudian kepada Perguruan Tinggi islam atau IAIN di Indonesia yang dimintakan untuk mengeluarkan pendapat masing-masing tentang masalah tersebut.
2.       Jalur kedua yaitu para ulama diwawancarai dan ditanya berbagai masalah yang nantinya akan dituangkan ke dalam kompilasi.
3.       Jalur ketiga adalah jalur yurisprudensi. Yurisprudensi peradilan agama sejak zaman Hindia Belanda sampai saat penyusunan kompilasi tersebut yang mana terhimpun dalam berbagai dokumen, dipelajari, dikaji kemudian ditarik garis-garis hukumnya yang berkaitan dengan masalah ini.
4.      Jalur keempat adalah jalur studi komparatif atau perbandingan dengan negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama islam, dengan perbandingan mengenai hukum dan penerapan hukum Islam di negara tersebut serta sistem peradilan mereka.[7]
Keberadaan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang memiliki dasar hukum Inpres No. 1 tahun 1991 jo, Keputusan Menteri Agama No. 154 tahun 1991 jo, Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam atas nama Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam No. 3694/Ev/Hk.003/AZ/91, memuat tiga buku hukum, yaitu Buku I tentang perkawinan, Buku II tentang kewarisan, Buku III tentang perwakafan.

IV.        KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa islam masuk ke Indonesia pada abad  ke ±13 M. Melalui pesisir pantai utara Indonesia, Islam masuk dengan cara damai, toleran, dan membaur dengan tradisi lokal sehingga diterima secara baik oleh masyarakat Indonesia dan tidak menimbulkan kejutan budaya (shock culture).
Pada masa pra kemerdekaan dikenal istilah adipati ing alogo panotogomo, pemimpin tidak hanya memegang tahta tetapi juga sebagai pemimpin agama, dan pada masa ini dikenal dengan konsep tahkim dan sebagainya,  sehingga pada masa ini hukum islam berdiri dan berkembang, sedangkan setelah datangnya penjajahan sistem hukum islam hampir dihapus, seperti halnya qishosh dan yang lainnya. Adapun pada masa pasca kemerdekaan hukum islam sangat diharapkan bisa bangkit kembali, tapi semua itu hanya harapan belaka, lebih-lebih pada masa Orde Baru Umat Islam dianggap membahayakan dan mengganggu kestabilan Negara.
V.           PENUTUP
Mengakhiri makalah ini, saya menghaturkan segala puji dan keagungan kepada Alloh Yang Maha Tinggi lagi Maha Kuasa. Dialah yang telah memberi anugerah pertolongan kepada kami. Tanpa pertolongan itu, tentu makalah ini tidak akan terwujud. Dengan rendah hati saya berdo’a kepada Alloh, mudah-mudahan Dia menjadikan jerih payah ini sebuah amal jariyah yang ikhlas, untuk dan karena-Nya semata. Dia Maha Tinggi lagi Maha Mulia. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi semua, dan dicatat sebagai pahala. Dialah sebaik-baik Penguasa dan sebaik-baik Pemberi pertolongan. Mudah-mudahan Alloh melimpahkan rahmat-salam kepada panutan alam beliaulah Muchammad S’AW, serta kepada segenap keluarga, sahabat dan para pengikut beliau hingga hari kiamat.


DAFTAR PUSTAKA
Sirajuddin. 2008.  Legislasi Hukum Islam di Indonesia.: Pustaka Pelajar: Jakarta.
Dedi Supriyadi. 2007. Sejarah Hukum Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia),: Pustaka Setia.: Bandung.




[1] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia), Basndung: Pustaka Setia. 2007. Hlm. 293.
[2] Ibid. Hlm. 301-302.
[3] Ibid. Hlm. 295.
[4] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia), Basndung: Pustaka Setia. 2007. Hlm. 314.
[5] Sirajuddin. Legislasi Hukum Islam di Indonesia.: Pustaka Pelajar: Jakarta.
[6] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia), Basndung: Pustaka Setia. 2007. Hlm. 385-387..
[7] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia), Basndung: Pustaka Setia. 2007. Hlm 390.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar