ASAL
USUL TASAWUF
Oleh
RUDI HARTANTO
I.
PENDAHULUAN
Sejak permulaan abad ke-19 sampai masa
akhir-akhir ini, telah bercorak ragam pendapat para orientalis yang menaruh
perhatian terhadap tasawuf, tentang asal-usul dan sumber tasawuf.
Generasi pertama para orientalis cenderung
merujukkan tasawuf pada satu sumber, sementara pada generasi terakhirnya
cenderung menolak gagasan sumber yang hanya satu itu. Hal ini telah diungkapkan
oleh R. A. Nicholson dalam karyanya, The Mystics of Islam.
Asal usul tasawuf ini bersumber dari Budha
atau Hindu, mereka lupa bahwa mengalirnya pengaruh India terhadap kebudayaan
Islam terjadi pada masa yang akhir, yang benar adalah bahwa tasawuf memang
masalah yang sangat kompleks. Karenanya tidak bisa dikemukakan suatu jawaban
yang sederhana terhadap pertanyaan mengenai asal usulnya.
II.
PERMASALAHAN
Di
dalam makalah ini ada beberapa permasalahan diantaranya :
1)
Sumber-sumber
normative (Al-Qur'an dan hadits)
2)
Unsur-unsur
eksternal (sosial, budaya dan politik)
III.
PEMBAHASAN
1)
Sumber-Sumber
Normatif
a.
Sumber
Al-Qur'an
Semua tingkatan dan keadaan para sufi
yang pada dasarnya merupakan obyek tasawuf, berlandaskan Al-Qur'an. Berikut ini
akan dikemukakan ayat-ayat Al-Qur'an yang menjadi landasan bagian tingkatan dan
keadaan para sufi. Penggemblengan jiwa misalnya, dilandaskan pada firman Allah
sebagai berikut :
“Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar-benar akan kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik”. (QS.
Al-Ankabut : 69)
Dan jihad yang paling utama bagi sufi
adalah jihad terhadap hawa nafsu, sebab :
“Sesungguhnya
nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan” (QS. Yusuf :
53)
Makam Zuhd didasarkan pada firman Allah
:
“Dan mereka
mengutamakan orang-orang muhajirin diatas diri mereka sendiri, sekalipun mereka
dalam keadaan kesulitan / kesusahan”. (QS). Al-Hasyr
: 9)
Tawakkal didasarkan kepada firman Allah
:
“Dan barang
siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah mencukupkan (keperluan)”.
(QS. Al-Thalaq : 3)
Tentang kesabaran (shabr) didasarkan
p[ada firman Allah :
“Dan
bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru tuhannya di pagi
dan senja hari dengan mengharap keridhoannya. Dan janganlah kedua matamu
berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini, dan
janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingati
kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”. (QS.
Al-Kahfi : 28)
Malu (hafa’) didasarkan pada firman
Allah :
“Tidakkah dia
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?” (QS.
Al-‘Alaq : 14)
Sedang cinta (hub) didasarkan kepada
firman Allah :
“Hai orang-orang yang beriman, barang siapa
yang murtad diantara kamu, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang
Allah mencintai mereka dan merekapun mencintainya”. (QS. Al-Maidah
: 54)
Tingkatan syukur antara lain berdasarkan
pada firman Allah :
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti kami akan
menambah (nikmat) kepadamu”
Dan
masih ada banyak lainnya.
Akan terlalu panjang uraiannya
seandainya semua pengertian psikis serta moral yang diungkapkan para sufi
tentang tingkatan dan keadaan dicarikan rujukannya dalam Al-Qur'an. Tampak
jelas bahwa dari segi pertumbuhannya, tasawuf ditimba dari sumber Al-Qur'an itu
sendiri.
b.
Sumber
hadits
Dasar atau sebagai sumber dari hadits
terutama hadits Qudsi, yaitu suatu hadits istimewa yang diterima oleh nabi
Muhammad, seakan-akan Tuhan sendiri yang bercakap dengan dia sedangkan orang
Islam biasa dapatlah membedakan bunyi Al-Qur'an. Hadits biasa atau hadits Qudsi
jika didengarnya sebuah hadits Qudsi itu yang sangat dipegang oleh kaum shufi
ialah hadits “kuntu hanzan makhfiyyan” : adalah aku suatu perbendaharaan yang
tersembunyi, maka inginlah kau supaya diketahui siapa aku, maka kujadikanlah
makhluk ku, maka dengan akulah mereka mengenal aku”.
Kehidupan dan alam penuhlah dengan
rahasia-rahasia tersembunyi. Demikian kata para sufi, rahasia-rahasia itu
tertutup oleh dinding-dinding diantara dinding itu ialah hawa nafsu kita
sendiri.
Keinginan akan hidup dan dunia, tetapi
rahasia itu mungkin tersimbah dan kita dapat melihat atau merasainya, asal kita
sudi menempuh jalannya. Jalan itulah yang mereka namai Thariqat.
Menurut sabda Tuhan “Dan
bahwa jika mereka tetap (istiqamah) menempuh jalan itu (thariqat) sesungguhnya
akan kami beri minum mereka dengan air yang melimpah-limpah” (Surat Al-Jinn
ayat 16)
Sebuah hadits lagi yang sangat mereka
jadikan pedoman ialah sabda Nabi “Musuhmu yang paling besar ialah dirimu
sendiri, yang ada dalam badanmu”. Dengan berdasarkan hadits inilah mereka
melakukan mujahadah (perjuangan batin) “haasibu qabla antuhaasabu”, (hitunglah
olehmu dirimu sendiri sebelum kamu dihitung!).
Ada juga hadits lain yang mereka jadikan
kebanggan dan suluh dalam hidup. Mereka merasa amat berbahagia, karena baik
sangka (husnuzh-zhan) bahwa merekalah yang dituju oleh hadits itu.
2)
Unsur-Unsur
Eksternal (Sosial, Budaya dan Politik)
1.
Pengaruh
Hindu
Bahwasanya timbulnya tasawuf Islam
adalah karena pengaruh hindu, yang dikuatkan oleh ahli-ahli penyelidik, tetapi
tidak seorangpun yang dapat mengemukakan alasan adakah pertalian bangsa Arab
dengan bangsa Hindustan, atau kebudayaan Arab dengan kebudayaan Hindustan, baik
sebelum Nabi Muhammad lahir atau sekian masa setelah Islam tersiar
kedatangannya. Agama Islam menyebut perbedaan-perbedaan diantara pokok
kepercayaan Islam dengan Yahudi, Nasrani dan Musyrikin.
Ahli-ahli lain pernah mengemukakan teori
tentang caranya bangsa-bangsa berfikir.[1]
(Rassen Theorie) katanya Bangsa Arya dapat menerima berfikir yang tinggi
meskipun teori demikian, yang timbul pada abad kesembilan belas telah dibantah
oleh beberapa para ahli, namun salah satu yang dapat mereka kemukakan bahwa
bangsa Arab tidak pernah terdapat persamaan berfikir dengan Brahmana atau Budha
itu.
Sedangkan pada masa empat abad yang
telah dilalui itu, tasawuf telah berkembang dalam masyarakat Islam dengan luas.
Sebab tasawuf timbul karena pengaruh ini sulit diterima.
2.
Persia
Hubungan antara bangsa Arab dan Persia
telah menjadi satu di dalam Islam. Keduanya telah berkonfrontasi memperebutkan
pengaruh politik di dalam kerajaan Islam. Timbulnya tasawuf yang dibawa oleh
orang Persia tidak dapat diterima begitu saja. Sebelum adanya percampuran
kebudayaan atau perpaduannya diantara Arab dengan Persia kehidupan kerohanian
telah ada pada zaman sahabat-sahabat ulama’ dan Tabi’in.
Bahwasanya penganjur-penganjur tsawuf
yang terdiri dari orang Persia adalah ma’ruf Al-Karachi dan Abu Yazid Bustami.
Ahli-ahli tasawuf memang banyak dari orang-orang Persia, tetapi ini sudah
berlaku tiga atau empat abad sesudah timbulnya hidup kerohanian Islam, oleh
karena itu tidak boleh dijadikan alasan untuk menjadi sumber.
Tasawuf memang besar pengaruhnya dalam
kalangan kaum Persia, terutama kaum syiah, karena pengaruh politik menentang
kekuasaan yang nyata. Setengah kepercayaan dari kaum syiah ialah mempercayai
adanya Imam Ghoib yang ditunggu kedatangannya di dunia. Sebab mereka tidak
mempercayai Imam yang hadir karena bukan dari kalangan syiah. Suatu kepercayaan
yang terdapat dalam golongan tasawuf yang akhir bahwasanya Allah dahulu menjadi
nur Muhammad dan dari Nur Muhammad inilah terjadi alam yang lain. Tetapi
kepercayaan-kepercayaan ini tidak terdapat kehidupan zuhud dari anjuran Qur’an sedang
sebelum kepercayaan-kepercayaan itu terdapat kaum yang yuhud menganjurkan hidup
kerohanian dengan dasar Islam dari Qur’an dan hadits yang telah ada.
3.
Nasrani
Tasawuf timbul karena pengaruh Nasrani.
Menurut pokok kepercayaan Islam yang asli, Islam dibawa oleh Nabi Muhammad SAW
ini adalah lanjutan dari Isa dan Musa dan keatasnya. Islampun mempercayai bahwa
Isa Almasih dilahirkan dengan kehendak Allah oleh Maryam bin Imron dengan tidak
mempunyai bapak, (tetapi ada juga segolongan kecil ahli-ahli fikir Islam yang
menetapkan bahwa beliau berbapak).[2]
Jadi perbedaan kepercayaan orang Islam dengan orang kristen kepada Nabi Isa,
adalah tentang “filsafat ketuhannya” ini, dalam kalangan orang Nasaranipun
terjadi perpecahan yang hebat. Bahkan pendeta Nasrani, Blachius namanya yang
menentang kepercayaan itu dan menyiarkan tantangannya di Roma, Afrika Utara dan
Palestina.
Dan ditetapkalah keputusan yang bulat di
tahun 341, tentang ketuhanan Isa Almasih.[3]
Orang Islam memandang orang-orang Nasrani dan yahudi adalah Ahlul Kitab.
Meskipun terdapat berlainan kepercayaan namun Islam mengakui kedua agama itu
adalah satu rumpun dengan dia yakni kepercayaah tauhid (monoteisme). Pokok
tasawuf Islam bukan dari Nasrani. Tetapi dari sumber telaga Al-Qur'an,
al-Hadits dan perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya
menganjurkan sangat membenci dunia yang ada dalam tasawuf dan kerohanian Islam
adalah dari Al-Qur'an, banyak ayat Qur’an yang memperingatkan agar orang tidak
terperdaya oleh duniawi.
“Ketahuilah
olehmu bahwasanya dunia itu tidaklah lain hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah diantara kamu, dan bersebanyak-banyak
harta dan keturunan, laksana hujan yang menakjubkan orang yang kafir karena
menyuburkan tanamannya. Kemudian datanglah badai. Demi menguninglah kembali
tanaman (hidup) itu, akhirnya menjadi bagus. Dan diakhirat adalah siksa yang
pedih, dan ampunan Tuhan Allah dan ridhanya, dan tidaklah ada kehidupan dunia,
hanyalah perhiasan yang menipu” (Q.S. Surat Al-Hadid, ayat
20)
Oleh karena itu sumber telaga tasawuf
dan hidup kerohanian Islam adalah Qur’an dan Hadits. Adapun setelah luas
pergaulannya memang sudah terjadi pengaruh-mempengaruhi. Bukan saja kaum Islam
yang terpengaruh oleh Nasrani, tetapi Nasrani banyak pula dipengaruhi Islam.
Ingatlah bagaimana besar pengaruh Filsafat keagamaan Al-Ghazali atas pendeta
Thomas Aquinas walaupun Ghozali selalu ditentangnya.[4]
4.
Neo-Platonisme
Kita harus membicarakan pengaruh
filsafat Yunani pada umumnya dan Neo-Platonisme pada khususnya dalam tasawuf
Islam. Pengaruh faham Neo-Platanisme atau filsafat yunani ditanah Arab tempat
Nabi Muhammad dilahirkan tidak tampak patokan pada zaman yang akhir ini,
seorang ulama Islam yang amat kenamaan dengan berfikir bebas merdeka
(progresif) yaitu Maulana Adul Kalam Azad dalam majalahnya “Kehidupan Hind”
mengemukakan beberapa teori bahwasanya yang dimaksud dengan “zulkarnain” itu
adalah maharaja Cyrus di Persia, dan keturunan Hakamanisy.[5]
Sejak permulaan abad ketiga dimasa
khalifah al-ma’mun mulai lewat pengaruh falsafah yunani itu. Tasaufnya,
m’tazilahnya, artinya kebatinan dan kecerdasan fikiran telah banyak memakai
sistem Yunani. Tetapi haruslah kita ingat dan insaf, bahwa filsafat Yunani
hanyalah dijadikan bahan, bukan dijadikan tujuan. Tempat mereka berdiri
tetaplah filsafat sendiri dalam daerah kesilaman.[6]
Tetapi kemudian lebih jelas lagi
al-Ghazali membawa pulang kembali kepada sumber keislaman yang asli atau sumber
hidup kerohanian yang asli, pada abad yang kelima. Setelah beliau pelajari
dengan seksama fiqhi (tingkat pertama), lalu filsafat Yunani dan lain-lain,
(tingkat kedua) akhirnya beliau mendapat jalan pulang kepada hidup kerohanian
kepada tasawuf, semata-mata dengan berdasar qur’an dan hadits dan kehidupan
nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya yang utama. Perbuatan raksasa dari
al-Ghazali ini memberikan bukti yang nyata bahwa kehidupan rohani Islam timbul
dari telaganya sendiri bukan dari luar badannya.
IV.
KESIMPULAN
Asal-usul tasawuf berasal dari bangsa
Hindu Budha yang dipengaruhi oleh beberapa suku bangsa yang masing-masing ada
pengaruh dalam aspek kehidupan sosial maupun politik. Tetapi tak lepas dari itu
tasawuf bersumber dari Al-Qur'an maupun hadits yang merupakan sumber normative
dari tasawuf.
V.
PENUTUP
Demikian makalah ini kami paparkan,
semoga bermanfaat bagi kita semua. Kami sadar masih banyak kekurangan dalam
makalah ini. Maka dari itu, saran dan kritik yang konstruktif kami harapkan
guna memperbaiki makalah kami selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr.
Abu Al Wafa’ Al-Ghanimi Al-Taftazani, Sufi Dari Zaman Ke Zaman, Bandung, 1985.
Prof.
Dr. H. M. Amin Syukur, MA, Pengantar Studi Islam, Pustaka Umum, Semarang.
Prof.
Dr. Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Yayasan Nurul Islam, Jakarta.
[1] Teori Ernest Renan
yang terkenal, mendapat bantahan dari De Boer, J. A. C Brown dan lain-lain
[2] Al-Ustad A. Hasan
dalam muqoddimah tafsir al-Furqan halaman XII menerangkan demikian : “Tuan
Hamka adalah menulis dalam salah satu bukunya, bahwa saya menganggap isa
berbapa. Ketika anak-anak pesantren Bangil menulis surat kepadanya, ia menjawab
“Saya dengan yang demikian waktu tuan Hassan bermunazharah dengan tuan Ma’sum
di rumah tuan Hassan di Bandung. “Tuan Hamka kelitu faham, Isa berbapa itu
bukan pendirian saya. Diwaktu munazharah dengan tuan Ma’shum saya hanya
mempertahankan pendirian Isa ada bapa. Hal mempertahankan ini, ada saya
terangkan di pembela Islam No. 36 kaca 22, dan di soal jawab No. 9 kaca 49.
[3] Dr. Madkour,
“Filsafat Islam”, Kairo, 1940
[4] Dr. Taufik al-Thawil,
Pertentangan agama dan filsafat, Asshira’u Baina’ddian wal filsafah”, kairo
1949.
[5] Maulana Abdul Kalam
Azad, Kebudayaan India, No. 1-2-1950 (Karim Bani seorang pengarang Pakistan
diam di Singapura, berpendapat bahwa Zul Karnian itu ialah Nabi Muhammad).
[6] Prof. Syekh Mustafa,
Abdul Raziq, Dasar-Dasar Filsafah Islam, Kairo 1944
Tidak ada komentar:
Posting Komentar